Jul 30, 2007

SOEHARTO, The Never Ending Story


Oleh Wimar Witoelar


Anak-anak saya dulu senang sekali lihat film ‘The Never Ending Story’. Jalan ceritera film itu tidak banyak sangkut pautnya dengan tulisan ini, tapi judulnya senada. Soeharto, koruptor kelas dunia, kok bisa lolos terus dari jangkauan hukum sejak mundur terpaksa. Mundurnya terjadi mendadak, tapi pertanggung jawaban kejahatannya terhalang oleh seribu alasan.


Hambatan terakhir menyangkut hilangnya berkas perkara tapi hambatan sesungguhnya bukanlah kendala teknis semacam itu. Berkas hilang bukan penyebab tapi akibat dari keengganan untuk menghukum Soeharto. Contohnya, keterangan Muladi bahwa kasus Soeharto sudah selesai. Menurut berita Tempo Interaktif 23 Mei 2007, Muladi minta semua pihak tidak menghabiskan energi untuk mengurusi atau memperdebatkan masalah-masalah di masa lalu seperti pengadilan bagi mantan presiden Soeharto. Muladi melihat bangsa Indonesia kurang fokus terhadap masa kini dan masa depan padahal masalah yang akan dihadapi ke depan sangat banyak. Kalaupun ada hal-hal di masa lalu yang perlu ditindaklanjuti, lanjutnya, haruslah masalah-masalah yang besar dan strategis saja sementara masalah yang kecil tidak perlu dipersoalkan lagi.


Loh kok masalah yang kecil? Bukankah jumlah uang yang diambil Soeharto itu besar sekali, sampai tidak terbayangkan? Apalagi kejahatan yang merampas nyawa manusia, pelanggaran HAM yang kita takut menyebutnya sampai sekarang, karena para pelaksananya masih berkeliaran bebas. Memang, Pak Muladi yang sekarang Gubernur Lemhanas, tapi jaman Soeharto adalah Menteri Hukum dan HAM, jadi sudah jelas kedudukannya dimana. Sama dengan menanyakan Donald Rumsfeld apakah serangan atas Irak itu benar atau salah. Kalau Muladi menyalahkan Soeharto, ia akan menguap seperti Harmoko.


Kita ambil kutipan orang yang seharusnya lebih kredibel, Jusuf Kalla. Wakil Presiden dalam pemerintahan yang lahir dari reformasi melawan Soeharto. Seharusnya Jusuf Kalla menghargai sejarah singkat yang membuat seorang pedagang macam dia bisa menduduki jabatan nomor dua di negara Indonesia. Dia mengatakan, pemimpin yang melihat masa lalu, kata dia, tujuannya bukan masa depan tapi kejayaan di masa lalu. “Jangan kita menyalahkan masa lalu tapi mari bergerak dalam kondisi kekinian,” ujar Kalla. So far so good. Bagus, Pak. Tapi dia teruskan, menurut posting Tempo Interaktif yang sama, bahwa perdebatan hal-hal yang kurang penting harus dikurangi. Kalla mengatakan, berdebat boleh saja dilakukan tapi tidak boleh sampai menghabiskan waktu dan menghalangi upaya penyelesaian permasalahan bangsa. Halo Pak? Apakah pengusutan Soeharto ‘menghabiskan waktu dan menghalangi upaya penyelesaian permasalahan bangsa?’


Bukankah justru permasalahan bangsa adalah menegakkan keadilan? Sungguh fantastis, rasionalisasi berbagai orang untuk tidak mengusut kejahatan Soeharto. Kelihatan sekali bahwa ketidak lengkapan berkas, atau hilangnya berkas, hanya merupakan alasan teknis menghindari tanggung jawab. Ingat Jeffrey Winters kan, ahli politik ekonomi Indonesia yang sangat cerdas dari Northwestern University. Katanya, sejarah lebih menguntungkan diktator yang mencuri Miliaran Dollar, bukan Jutaan.


Kata Winters, sejarah membuktikan bahwa pemimpin yang melakukan pelanggaran, lebih aman kalau dia melanggar pada skala yang demikian besarnya sehingga tidak banyak orang percaya bahwa itu mungkin. Orang yang hanya mencuri remeh-remeh ditangkap KPK. Tapi kalau yang dicuri itu Miliaran Dollar, berarti puluhan Trliun Rupiah, tidak bisa dibayangkan orang bisa mencuri sebanyak itu. Apalagi kalau orangnya bersikap sederhana dan senyum terus, sakit dan tua. Kasihan, ingatlah jasanya katanya. Orang tidak melihat bahwa pengacaranya kaya raya, anaknya melempar uang puluhan juta dollar kesana kami dan tinggal di rumah bernilai puluhan juta dollar perumahan termahal California. Uang sisanya masih dipakai untuk dana politik Pilkada dan Pilpres.


Dibantu oleh bankir dan funds manager top di dunia dan perangkat hukum yang tahan banting, makin susah lagi menangkap Soeharto. Atau dibalik, makin mudah lagi menghindari penangkapan Soeharto. Sekalinya seorang Jaksa Agung seperti Abdulrahman Saleh mulai mempersiapkan perkara Soeharto dengan serius, dia kena reshuffle. Kebetulan atau sengaja? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.


[Apakah Hendarman Supanji akan berhasil mengambilalih harta jarahan Soeharto? Sekali lagi tanyakan juga pada rumput yang bergoyang, red]


Tulisan ini adalah versi asli kolom opini yang terbit di Majalah Tempo edisi 11-17 Juni 2007




Pasar Turi in Memoria

Blogger


PASAR TURI : IN MEMORIAM
Inilah satu diantara Pintu Masuk Pasar Turi Tahap I dan II yang terbakar. Setelah lebih dari 2 hari terbakar, Sabtu (28/07), PMK berhasil menjinakkan api. Pasar Grosir terbesar di Indonesia Timur dan icon Kota Surabaya ini kini dilanda nestapa.
(Foto : EDDY suarasurabaya.net)
disadur dari suarasurabaya.net

Soeharto Inc., Laporan TIME-24 Mei 1999

MENGENAI HARTA JARAHAN KELUARGA SUHARTO

Penyelidikan TIME ke dalam kekayaan keluarga Suharto dan anak-anaknya menemukan harta jarahan sebesar $ 15 milyar dalam bentuk uang tunai, properti, barang-barang seni, perhiasan dan pesawat-pesawat jet pribadi

Oleh: JOHN COLMEY dan DAVID LIEBHOLD Jakarta

PERUSAHAAN KELUARGA

Ketika tiba masa akhir Suharto, presiden Indonesia terlama, ia hanya nampak pasif. Sementara para mahasiwa dan massa rakyat yang marah turun ke jalan-jalan, dan disambut dengan tembakan dan gas air mata; jendral berbintang lima itu mundur ke belakang sambil mencoba menata segala sesuatunya dengan baik. Ketika ia akhirnya turun tahun lalu, ia hanya berdiri menyingkir ke sebelah, sementara B.J Habibie mulai diambil sumpahnya. Setelah itu Suharto jarang kedengaran lagi.

Tetapi nyatanya Suharto jauh lebih sibuk dari yang disadari oleh banyak orang. Sesaat setelah Soeharto jatuh dari kekuasaan, telah tercium adanya usaha-usaha untuk menyelamatkan harta pribadinya. Di bulan JulI 1998, serangkaian laporan mengindikasikan bahwa uang dalam jumlah luar biasa yang berhubungan dengan Indonesia telah dipindahkan dari sebuah Bank di Switzerland ke Bank lain di Austria, yang dipertimbangkan sebagai tempat berlindung yang lebih aman untuk deposito-deposito rahasia. Pemindahan tersebut memperoleh perhatian dari kementerian keuangan Amerika, yang mengikutinya secara seksama, dan menggerakkan penyelidikan-penyelidikan diplomatik di Wina. Sekarang, sebagai bagian dari penelitian empat bulan yang meliputi 11 negara, TIME telah menemukan bahwa $ 9 milyar dari uang Soeharto dipindahkan dari Switzerland ke sebuah account Bank di Austria. Nilai yang tidak jelek untuk seseorang yang gaji kepresidenannya sebesar $ 1.764 per bulan.

Jumlah milyaran ini hanyalah sebagian dari kekayaan Soeharto. Meski pun krisis keuangan Asia telah memotong kerajaan keluarga secara signifikan, bekas presiden ini dan anak-anaknya masih menguasai kekayaan luar biasa. Kerajaan ini dibangun dalam waktu lebih dari tiga dekade yang mencakup perusahaan-perusahaan dari skala kecil hingga besar. Menurut data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan majalah properti Indonesia, keluarga Soeharto baik yang dimiliki sendiri maupun melalui perusahaan-perusahaannya, mengontrol 3,6 juta hektar real estate di Indonesia, sebuah area yang lebih besar dari Belgia. Luas ini mencakup 100.000 meter persegi ruangan kantor di Jakarta dan hampir 40 persen dari luas seluruh propinsi Timor Timur.
Di Indonesia, enam anak Soeharto memiliki saham dalam jumlah signifikan sekurang-kurangnya di 564 perusahaan, dan kekayaan luar negeri mereka mencakup ratusan perusahaan-perusahaan lainnya, tersebar dari Amerika ke Uzbekistan, Belanda, Nigeria dan Vanuatu. Keluarga Soeharto juga memiliki sejumlah besar hiasan-hiasan berharga. Selain itu, sebuah ranch untuk berburu seharga $ 4 juta di Selandia Baru and memiliki setengah dari kapal pesiar (yatch) seharga $ 4 juta yang ditambatkan di luar Darwin, Australia. Hutomo Mandala Putra (nama kecilnya Tommy) putra terkecil, mempunyai 75 persen saham di sebuah lapangan golf 18 lubang dengan 22 apartemen mewahnya di Ascot, Inggris. Bambang Trihatmojo, putra kedua Soeharto, memiliki sebuah penthouse seharga $ 8 juta di Singapura dan sebuah rumah besar seharga $ 12 juta di sebuah lingkungan esklusif di Los Angeles, letaknya dua rumah dari rumah bintang rock Rod Steward dan hanya beda satu jalan dari rumah saudaranya Sigit Harjoyudanto yang bernilai $ 9 juta. Putri tertua, Siti hardiyanti Rukmana, mungkin telah menjual Boeing 747-200 jumbo jetnya, tetapi armada kapal terbang keluarga Soeharto masih mencakup, sekurang-kurangnya sampai saat ini, sebuah DC-10, sebuah Boeing 737 biru dan merah, sebuah Canadian Challenger 601 dan sebuah BAC-111. Yang terakhir pernah dipunyai oleh the Royal Squadron of Britain’s Queen Elizabeth II, menurut Dudi Sudibyo, managing editor dari Angkasa, majalah terbitan Indonesia.

Setelah melakukan ratusan wawancara dengan teman-teman Soeharto, baik yang dahulu mau pun sekarang, pegawai pemerintah, kalangan bisnis, ahli-ahli hukum, akuntan-akuntan, bankir-bankir dan keluarga mereka, serta meneliti berlusin-lusin dokumen (termasuk catatan-catatan Bank tentang pinjaman luar negeri terbesar), para koresponden TIME menemukan indikasi bahwa sekurang-kurangnya $ 73 milyar melewati tangan-tangan keluarga Soeharto antara tahun 1996 hingga tahun lalu. Sebagian besar berasal dari pertambangan, perkayuan, komoditi-komoditi dan industri-industri perminyakan. Investasi-investasi buruk dan krisis keuangan di Indonesia telah menurunkan jumlah kekayaan tersebut. Tetapi bukti mengindikasikan bahwa Soeharto dan enam anaknya tetap memiliki kekayaan $ 15 milyar tunai, saham.saham, modal-modal perusahaan, real estate, perhiasan dan benda-benda seni -termasuk karya-karya Affandi dan Basoeki Abdullah dalam koleksi Siti Hediati Hariyadi, putri tengah yang dikenal sebagai “Titiek”.

Soeharto membuat fondasi untuk kekayaan keluarganya dengan menciptakan sistem patron yang berskala nasional yang mempertahankannya dalam kekuasaan selama 32 tahun. Anak-anaknya, pada gilirannya, memfungsikan kedekatan dengan Presiden kedalam peranan calo (perantara) untuk pembelian dan penjualan dari produk-produk minyak, plastik, senjata, bagian-bagian pesawat terbang dan petrokimia yang dimiliki pemerintah. Mereka memegang monopoli pada distribusi dan import komoditi-komoditi utama. Mereka mendapatkan pinjaman dengan bunga rendah melalui kerjasama dengan bankir-bankir, yang seringkali takut untuk menanyakan pembayaran kembali. Subarjo Joyosumarto, managing director Bank Indonesia menyatakan bahwa selama pemerintahan Soeharto, “ada sebuah situasi yang membuat sukar bagi Bank-Bank negara untuk menolak mereka.”

Sekarang, dengan setengah penduduk dibawah garis kemiskinan sebagai hasil dari krisis keuangan, tidak ada keraguan bahwa keluarga Soeharto menumbuhkan kekayaan diatas penderitaan rakyat. Seorang bekas kolega bisnis anak-anak Soeharto memperkirakan bahwa mereka tidak membayar pajak antara $ 2,5 milyar dan $ 10 milyar pada komisi saja. “Sangat mungkin tidak ada perusahaan-perusahaan Soeharto telah membayar 10 persen dari kewajiban pajak yang sebenarnya”, kata Teten Masduki, seorang anggota eksekutif Indonesian Corruption Watch, sebuah NGOs. “Dapatkah dibayangkan berapa besar pendapatan yang telah hilang?”

Kebanyakan orang Indonesia juga menyalahkan Suharto karena menciptakan iklim korupsi yang mempengaruhi seluruh perekonomian Indonesia. Bank Dunia memperkirakan bahwa sampai sebanyak 30% anggaran pembangunan di Indonesia selama dua dekade telah menguap karena korupsi yang meluas di lingkungan pegawai negeri dari atas sampai ke bawah. “Kalau anda tidak membayar suap, orang akan menganggap anda aneh”, kata Edwin Soeryadjaya, Direktur perusahaan patungan telekomunikasi Indonesia-Amerika. “Sungguh sedih. Saya sampai tidak bisa bilang bahwa saya bangga menjadi orang Indonesia. Ini adalah satu dari negara paling korup di dunia”.

HARAPAN YANG BESAR

Bagaimana perusahaan keluarga Suharto mendapatkan kekayaan dan kekuatannya; dan memperpanjang impian jutaan orang Indonesia lainnya? Ketika Suharto menjadi Presiden pada tahun 1967, gabungan yang unik antara kekuatan dan kepintaran politik orang Jawa telah terwujud. Penyingkiran kehidupan presiden Sukarno, nasionalis pendiri negara, terlaksana selama dua tahun dengan disertai pembersihan anti-komunis yang memakan korban sebanyak lebih dari 500.000 orang. Namun Suharto, seorang jenderal yang tidak dikenal dari sebuah desa di pelosok Jawa Tengah, mengawalinya dari sebuah kehidupan yang tampaknya sederhana. Ia dan istrinya Siti Hartinah (Ibu Tien) pada awalnya hidup di rumah peristirahatan yang sederhana di daerah Menteng, Jakarta dan biasa mengendarai Ford Galaxy. Hal inilah yang menandai perbedaan yang kontras antara dia dengan Sukarno, yang dengan gaya hidup bak seorang raja, dengan istana megah kepresidenannya dan istri ketiganya yang glamour Dewi, yang sebelumnya sebagai penyanyi Jepang di night club Cobacabana di Tokyo. Akan tetapi di balik topengnya, sesungguhnya Suharto telah menunjukkan awal kesukaannya untuk menghasilkan uang.

Di tahun 1950an, ia diduga terlibat dengan sengaja dalam penyelundupan gula dan kegiatan extra-militer lainnya di Jawa Tengah, yang menyebabkannya kehilangan kedudukan sebagai panglima KODAM Diponegoro ketika terjadi gerakan anti korupsi di tahun 1959. Dalam otobiografinya, Suharto menegaskan bahwa ia menukar gula untuk mendapatkan beras, dalam upaya mengatasi kekurangan pangan lokal dan secara pribadi ia tidak mendapatkan keuntungan darinya. Pada akhirnya, pihak militer memindahkan Suharto ke posisi yang tidak memiliki pengaruh kuat yaitu di sekolah staf angkatan bersenjata di Bandung, Jawa Barat.

Pada tahun 1966, bisnis keluarga Suharto mulai terbentuk. Ketika menjadi pejabat Presiden, Suharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 8 untuk merampas dua konglomerasi yang dikuasai Sukarno yang memiliki aset sebanyak $ 2 milyar. Konglomerasi tersebut kemudian menjadi PT Pilot Project Berdikari, di mana Suharto menempatkan pengelolaannya di bawah Achmad Tirtosudiro, seorang pensiunan jenderal yang pada saat ini mengetuai sebuah organisasi muslim yang kuat yang didirikan oleh Presiden Habibie. Perusahaan ini menjadi salah satu jantung utama kerajaan bisnis Suharto.

Keberuntungan presiden mulai melambung bersama-sama dengan beberapa teman dekatnya, yang paling terkenal adalah Liem Sioe Liong dan The Kian Seng, yang lebih dikenal sebagai Mohammad “Bob” Hasan. Di akhir tahun 1969, Suharto memberikan sebagian monopoli — yang pada akhirnya menjadi monopoli penuh — pada barang-barang impor, pabrik penggilingan dan distribusi gandum dan tepung pada PT Bogasari Flour Mills, yang dikuasai oleh Kelompok Salim milik Liem. Bertahun-tahun Liem dikenal sebagai Oom Liem pada keluarga Suharto dan Hasan menjadi orang terpercaya Suharto dari luar kalangan keluarga, yang pada akhirnya memperluas kerajaan bisnisnya sendiri dengan cepat.

Dasar keberuntungan Suharto adalah yayasan kepresidenan. Lusinan yayasan telah didirikan seolah-olah sebagai yayasan amal, dan yang membiayai sejumlah besar rumah sakit, sekolah, dan mesjid. Tetapi yayasan-yayasan tersebut juga merupakan dana raksasa yang tidak resmi untuk investasi proyek-proyek Suharto dan kroninya, maupun untuk mesin politik presiden, yaitu Golkar. Menurut George Aditjondro, pengajar Sosiologi di Universitas Newcastle, Australia, terdapat sekitar 79 yayasan yang dikuasai oleh Suharto, istrinya (meninggal tahun 1996), saudara-saudara istrinya dari desa, sepupunya dan saudara tirinya, enam anaknya, keluarga dan orang tua pasangan anak-anak tersebut, orang-orang militer yang dipercaya, dan teman-teman dekat lainnya seperti Habibie, Hasan dan Liem.

“Yayasan-yayasan tersebut membeli berbagai saham, mendirikan berbagai perusahaan, meminjamkan uang kepada para pengusaha,” kata Adnan Buyung Nasution, pengacara yang pada akhir tahun lalu mencoba membentuk komisi independen terhadap kekayaan Suharto. Yayasan menerima “sumbangan”, yang seringkali tidak dalam bentuk sukarela. Diawali di tahun 1978, seluruh Bank milik pemerintah diminta memberikan 2,5 persen keuntungannya untuk Yayasan Dharmais dan Yayasan Supersemar, demikian menurut Jaksa Agung terdahulu Soedjono Atmonegoro. Keppres no. 92 tahun 1996 memerintahkan bahwa setiap pembayar pajak dan perusahaan yang berpenghasilan $ 40.000 setahun, diharuskan menyumbang 2 % pendapatannya untuk Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, yang dibentuk untuk mendukung program pemberantasan kemiskinan (perintah ini kemudian ditiadakan pada bulan Juli 1998). Saat ini, pegawai negeri dan anggota militer menyumbang sebagian penghasilan mereka setiap bulannya kepada Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang digunakan Suharto untuk memenangkan dukungan bagi kalangan umat Islam. Sementara “sumbangan” tersebut menjadi bagian besar dari penghasilan yayasan, masih terdapat sumber-sumber keuangan lainnya. Di tahun 1978, Yayasan Suharto menguasai 60% saham Bank Duta — sebuah Bank swasta terkemuka, kata seorang bekas pejabat Bank Duta. Saham tersebut bertambah secara perlahan menjadi 87 %. Kemudian yayasan-yayasan tersebut menginvestasikannya ke dalam berbagai perusahaan swasta yang didirikan anggota keluarga Suharto dan kroninya. Setelahnya, dengan pertolongan menteri-menteri atau perusahaan milik negara, perusahaan-perusahaan tersebut akan mendapatkan sebuah kontrak atau sebuah monopoli.

Sejak jatuhnya Suharto, yayasan-yayasan tersebut telah menjadi target utama para penyelidik Indonesia. Segera setelah pengunduran Suharto, Jaksa Agung Soedjono menyelidiki pembukuan empat yayasan terbesarnya. Apa yang ditemukannya sungguh mengejutkan. “Yayasan-yayasan tersebut didirikan untuk menyalurkan layanan sosial”, ia mengatakan, “tetapi Suharto menyalurkan uangnya ke anak-anak dan teman-temannya.”. Soedjono menemukan bahwa salah satu yayasan yang terbesar, Supersemar, telah menyebarkan 84 % dananya pada sasaran yang tidak diketahui, termasuk pinjaman kepada perusahaan milik anak-anak dan teman-temannya. Suharto, sebagai pimpinan, harus menandatangani cek diatas $ 50.000. Sodjono menyampaikan laporan pendahuluan atas temuannya kepada Presiden Habibie Juni lalu. Ia dipecat lima jam kemudian. (Presiden berkata Soedjono dipecat karena ia melewati garis komando untuk masuk masalah yang lain.)

MINYAK DAN TANAH

Dalam dasawarsa pertama masa kekuasaannya, Suharto melalui Ibnu Sutowo menjadikan Pertamina seakan-akan milik pribadinya. Ketika Ibnu Sutowo dipecat di tahun 1976, tidaklah jelas apa sebabnya, apakah karena salah mengelola perusahaan atau karena memiliki ambisi politik yang kelewat besar. Saat ini, di usianya yang ke 84, Ibnu Sutowo menceritakan kepada TIME mengenai hal tersebut. Menurutnya, tahun 1976 Suharto menyuruhnya mendirikan perusahaan untuk mengangkut minyak mentah Indonesia ke Jepang. “Suharto bilang, saya ingin kamu menarik $ 10 sen untuk setiap barrel yang terjual oleh perusahaan baru itu.” Ibnu Sutowo ingat saat itu. “Ketika saya mengatakan tidak, ia kelihatannya kaget”.

Setelah Ibnu Sutowo dipecat, Pertamina melakukan ekspor dan impor minyak di pertengahan tahun 80-an melalui Perta Oil Marketing dan Permindo Oil Trading, dua perusahaan di mana Tommy dan Bambang memiki saham. Menurut seorang pejabat senior di pemerintahan Habibie, dua perusahaan tersebut menerima komisi sekitar $ 30-35 sen per barrel. Di tahun fiskal pertama tahun 1997-1998, kedua perusahaan itu menjual rata-rata 500.000 barrel per hari, dengan komisi lebih dari $ 50 juta per tahun. Menurut Subroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi: “Pertamina sebenarnya bisa mengekspor langsung. Dua perusahaan itu sebenarnya tidak dibutuhkan”.

Selanjutnya, seorang mantan mitra bisnis Tommy dan Bambang mengatakan bahwa ‘mark up’ tidak resmi dalam ekspor dan impor minyak telah memberikan dua perusahaan itu sekitar $ 200 juta per tahun selama tahun 1980-an ketika harga minyak bumi tinggi, dan sekitar separuhnya di tahun 1990an. Keluarga Suharto juga mendapatkan kontrak-kontrak Pertamina untuk asuransi, keamanan, suplai makanan dan jasa-jasa lainnya –170 kontrak secara keseluruhan. Tahun lalu, ketika Suharto jatuh, Pertamina membatalkan banyak kontrak-kontrak tersebut dan mengumumkan bahwa Pertamina berhasil menghemat $ 99 juta per tahun karenanya. Seorang mantan mitra bisnis keluarga Suharto mengatakan: “Mereka memerah Pertamina seperti layaknya sapi”.

Salah satu penghasil uang utama bagi Suharto adalah PT. Nusantara Ampera Bakti, atau Nusamba, didirikan tahun 1981 oleh tiga yayasan Suharto dengan modal $ 1,5 juta bersama Bob Hasan dan Sigit Suharto (masing-masing memperoleh saham 10%). Perusahaan ini menjadi jaringan besar dengan lebih dari 30 anak perusahaan di bidang keuangan, energi, pulp dan kertas, baja dan otomotif. Jantung Nusamba adalah saham sebesar 4,7 % pada Freeport Indonesia, sebuah perusahaan AS yang merupakan penambang emas terbesar di dunia dengan kegiatan di Papua Barat. Tahun 1992 tiga yayasan itu memindahkan 80% sahamnya ke Bob Hasan, meskipun tidak jelas berapa banyak yang ia bayar untuk itu. Sampai kini, penyelidik dari pemerintah tidak pernah memeriksa keuangan Nusamba. OC Kaligis, ketua penasehat hukum Suharto mengatakan: “Bila ingin tahu tentang Nusamba, tanya Bob Hasan. Dalam penyelidikan Suharto, Jaksa Agung tidak pernah bertanya soal Nusamba”.

Keluarga Suharto mendapatkan uang tidak saja melalui kontrak-kontrak pemerintah, tetapi juga dari menyusahkan kehidupan orang Indonesia. Ketika Suharto ingin membangun peternakan sapi di Jawa Barat, ia merampas tanah lebih dari 751 ha yang dihuni oleh 5 desa. Menurut pemerintah, ia membayar ganti rugi sebesar $ 5.243. Beberapa penduduk mengatakan, mereka tidak memperoleh ganti rugi apapun. Muhammad Hasanuddin, yang saat itu masih anak-anak, ingat ketika keluarganya kehilangan tanah mereka seluas dua hektar. “Kami melihat sapi gemuk-gemuk dijaga oleh serombongan penjaga berkuda, menginjak-injak ladang kami yang sudah hancur. Seluruh keluarga hanya bisa menangis”. Ayah Hasanuddin akhirnya menjadi tukang becak di Jakarta.

Banyak cerita sama. Di tahun 1996 sebuah perusahaan milik Tommy merampas tanah penduduk desa di Bali seluas 650 hektar untuk resort. Perusahaan itu sebenarnya hanya memperoleh ijin untuk 130 ha, yang kemudian diperluas secara ilegal, demikian menurut Sonny Qodri, ketua LBH Bali. Penduduk yang menolak untuk menandatangani perjanjian menjual tanah, diintimidasi, dipukuli dan sering direndam dalam air sebatas leher. Dua dari mereka dibawa ke pengadilan dan dipenjara 6 bulan. Sekarang tak ada yang tertinggal dari proyek itu: resesi datang ketika buldozer akan bekerja.

Hasan Basri Durin, Ketua BPN dan Menteri Agraria, mengatakan bahwa keluarga Suharto bisa dikatakan tidak membayar untuk tanah-tanah yang mereka inginkan –nilai yang dibayar hanya 6% dari nilai pasar sebenarnya, dan pemilik tanah biasanya berubah pikiran dan bersedia menjual tanah setelah kedatangan tentara. “Kadang-kadang mereka tidak membayar satu sen pun”, kata Hasan. “Namun semuanya legal karena mereka (keluarga Suharto) memiliki dokumen”. Hanya separuh petani Indonesia yang memiliki sertifikat tanah, sehingga sulit bagi mereka untuk membuktikan kepemilikannya — dan lebih sulit lagi untuk membuktikan terjadinya intimidasi. Hasilnya, hanya sedikit yang mengajukan gugatan.

ANAK-ANAK KEBERUNTUNGAN

Selama bertahun-tahun, korupsi di Indonesia adalah semacam bentuk pemberian komisi dari pembelian, yang umum dijumpai di negara-negara berkembang. Ada dua faktor yang menyebabkan Indonesia agak berbeda dari yang lainnya. Pertama, posisi Indonesia sebagai bintang panggung baru dalam keajaiban ekonomi Asia, yang membawa aliran dana yang mengalir ke sektor bisnis dan real estate. Bank Dunia memperkirakan bahwa antara tahun 1988 sampai tahun 1996, Indonesia telah menerima lebih dari $ 130 milyar dari investasi asing. Ini semua hanya mungkin di bawah pengaruh Barat, yang telah mendukung Suharto selama 30 tahun, kata Carel Mohn, juru bicara Transparansi Internasional, sebuah Organisasi non-pemerintah (Ornop) yang berbasis di Berlin.

Faktor kedua, adalah anak-anak Suharto. Ke-enam anak-anak tersebut masuk ke dalam bisnis, panggilan hati yang telah ada semenjak usia dini mereka. Saya ingat ketika kami masih remaja, saya dan Bambang dan teman-temannya datang kerumah Oom Liem, kata seorang teman kecil anak Suharto yang kedua. Oom Liem akan selalu memberi kami sepaket uang yang dibungkus kertaskoran. Paket itu, katanya, berisi cek senilai sekitar $ 1.000 atau lebih. Wati Abdulgani, seorang pengusaha perempuan yang juga berhubungan dengan perusahaan keluarga Suharto di tahun 1980an mengatakan: “Anak-anak ini mengamati apa saja yang diberikan oleh Oom-nya tersebut, dan kemudian mereka berpikir, Bagaimana dengan kami nanti bila kami sudah besar, apakah bisa seperti dia?”

Sigit, anak yang tertua, secara jelas dipaksa oleh ibunya untuk masuk ke bisnis. Peran ibunya sebagai orang di belakang layar membuatnya terkenal dengan sebutan “Madam Tien Percent”. Seorang teman bu Tien pernah berbicara dengannya pada saat pemerintah sedang membangun bandara internasional Soekarno-Hatta. “Ia bilang pada saya, saya ingin Sigit belajar tentang Bisnis”, katanya. Saya katakan sebaiknya Sigit menyelesaikan dulu universitas-nya. Jawab ibunya, “Jangan, jangan, Sigit tidak bisa berpikir jelas”. Dua narasumber yang bekerja untuk proyek Bandara tersebut berkata bahwa ketika kedua terminal bandara telah selesai di tahun 1984, sebanyak $ 78,2 juta harus diserahkan ke Sigit dalam bentuk mark-up yang kelihatannya akan seperti biaya berjalan. Sigit kemudian beranjak ke bisnis yang lebih besar lagi. Di tahun 1988, Departemen Sosial menetapkan adanya karcis SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), yang dipegang oleh perusahaannya. SDSB tersebut dapat terus beroperasi sampai kemudian terpaksa harus dihapus karena protes anti-judi dari kalangan Islam di tahun 1993. Pola judi tersebut membuat Sigit dan perusahaannya mendapat jutaan dollar setiap minggunya, kata Christianto Wibisono dari PDBI (Pusat Data Bisnis Indonesia), yang telah mengumpulkan berbagai informasi diseputar bisnis dan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Suharto semenjak tahun 1980.

Anak keduanya, Bambang, mendirikan Group Bimantara di tahun 1981 bersama dengan dua teman bekas anggota kelompok band rock-nya. Mereka dibimbing masuk ke bisnis oleh Oom Liem. Dari tahun 1967 sampai tahun 1998, BULOG (Badan Urusan Logistik) mengimpor dan mendistribusikan bahan-bahan pokok, seperti terigu, gula, kacang, dan beras melalui perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Suharto, termasuk enam diantaranya milik Liem. Sesuai permintaan Bambang, Liem memberikan sebagian bisnis kepadanya. Dari perdagangan gula saja, Bambang mendapat keuntungan sebesar $ 70 juta setahunnya, hanya untuk menstempel dokumen. Sistem itu berjalan dengan begitu baiknya, sehingga setiap anak yang mau masuk ke bisnis diberi sebagian-sebagian dari bisnis tersebut. Praktek tersebut terus berjalan sampai tahun 1998. Dari tahun 1997 sampai 1998, Liem mendapat kontrak dari BULOG untuk mengimpor sekitar 2 juta ton beras yang bernilai $ 657 juta. Sebagai bagian dari kontrak itu, disebutkan bahwa anak terkecil Suharto, Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek) mengimpor 300.000 ton beras yang bernilai $ 90,3 juta. Selama 18 tahun terakhir, lewat adanya keinginan pemerintah untuk menstabilkan harga beras, anak-anak Suharto telah berhubungan dengan BULOG untuk menghasilkan sekitar $ 3 milyar sampai $ 5 milyar bagi mereka sendiri, demikian menurut seorang bekas pejabat pemerintah.

Anak tertua, Tutut, tumbuh menjadi ratu lebah dari klan Suharto. Basis kerajaan bisnisnya adalah Group Citra Lamtoro Gung. Bisnis besar pertamanya adalah membangun dan mengoperasikan jalan tol. Proyek jalan tol-nya yang pertama dimenangkannya tahun 1987, setelah pemerintah mengalahkan dua pesaing tender lainnya. Pembiayaannya berasal dari dua bank pemerintah, sebuah perusahaan semen milik pemerintah, dan yayasan milik Suharto. Ketika presiden Bank Bumi Daya menolak permintaan Tutut akan pinjaman-bebas-bunga, ia langsung dipecat. Di pertengahan tahun 1990, jalan tol-nya menghasilkan $ 210.000 per-hari. Di tahun 1995 , konsesi sistem jalan tol yang dipunyainya, bisnis yang paling menguntungkan di Indonesia, diperpanjang sampai tahun 2004. Kata Teddy Kharsadi, Direktur corporate-affair perusahaan jalan-tol PT Citra Marga Nusaphala, “Perpanjangan ini merupakan konsekuensi yang wajar dari investasi kami”.

Kerajaan bisnis Tutut meliputi juga telekomunikasi, perbankan, perkebunan,penggilingan tepung terigu, konstruksi, kehutanan, serta penyulingan dan perdagangan gula. Para pengusaha asing tidak bisa lain selain menjadikan keluarga Suharto sebagai partner-nya, bila mereka hendak ber-bisnis diIndonesia, dan Tutut akan selalu berada di deretan pertama di dalam daftar. “Banyak perusahaan multinasional besar menginginkan adanya koneksi yang kuat, dan hal ini tentu saja berguna bagi mereka”, kata Graeme Robertson, seorang Australia kelahiran Indonesia, yang perusahaannya - Group Swabara - bergerak di pertambangan emas dan batubara. Pada puncak kekuasaan Tutut, investor yang berkeinginan untuk menemuinya, harus membayar terlebih dahulu uang sebesar $ 50.000 sebagai “jasa konsultasi” kepadanya.

Di awal tahun 1990an, Indonesia mulai memperhatikan saran bagi dijalankannya ekonomi berorientasi pasar dengan menswastakan perusahaan-perusahaan negara. Keluarga Suharto adalah penerima manfaat terbesar. Suharto meniadakan monopoli negara dalam telekomunikasi di tahun 1993, dengan memberikan lisensi pengoperasian sambungan langsung internasional dan jaringan telpon bergerak digital yang pertama di Indonesia kepada perusahaannya Bambang, PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo). Pada saat yang sama, perusahaan negara PT Telkom menyerahkan basis pelanggannya kepada Satelindo, ketika Satelindo meluncurkan satelitnya sendiri, yang ketiga di Indonesia, lewat bantuan hutang sebesar $ 120 juta dari Bank Export-import Amerika. TIME telah meneliti bahwa pemerintah telah memberikan lisensi dan basis pelanggan Telkom kepada Satelindo tanpa tender atau pembayaran. Dengan bantuan cuma-cuma pemerintah inilah, Bambang mengontrol perusahaannya, yang menurut harga pasar bernilai $ 2,3 milyar di tahun 1995. Ketika perusahaan Deutsche Telekom Jerman membeli 25% saham Satelindo, mereka membayar sebesar $ 586 juta. Bambang juga menerima saham utama sebesar $ 90 juta sebagai jasa fasilitasi dari Deutsche Telekom sebagai bagian dari penjualan tersebut.

TERLALU BANYAK HAL YANG BAGUS

Kepentingan anak-anak Suharto menjadi semakin membesar sehingga mereka mulai bentrok satu sama lain. Bambang dan Tutut bersaing dalam mendirikan stasion televisi mereka masing-masing. Tommy bersaing dengan Sigit dalam penerbangan, serta dengan Bambang dalam produksi mobil dan perkapalan. Di tahun 1990 pemerintah mengadakan lelang bagi kontrak pengadaan peralatan pemindah 350.000 sambungan telpon. Perusahaan NEC Jepang bergabung dengan sebuah perusahaan milik Bambang. Pesaingnya perusahaan AT&T, memberi Tutut 25% saham dalam perusahaan lokal mereka bernama PT Lucent Technologies Indonesia. Pada akhirnya proyek tersebut dibagi 50-50 diantara AT&T-Tutut dengan NEC-Bambang. Di tahun 1996, Tutut berselisih dengan Sigit guna mendapatkan hak pengembangan tambang emas terbesar Busang di Kalimantan Timur. Partner Tutut, perusahaan Barrick-Gold dari Kanada, berlawanan dengan partner Sigit, Bre-X Minerals. Kali ini, dua-duanya mendapat hasil nihil. Busang ternyata hanyalah cerita bohong-bohongan terbesar dalam sejarah pertambangan.

Persaingan menjadi semakin keras ketika anak-cucu Suharto mulai mencari berbagai monopoli di bisnis pinggiran. Bambang mendapat kontrak untuk mengimpor kertas khusus untuk mencetak uang. Tutut mengambil-alih usaha pemrosesan SIM (Surat Ijin Mengemudi). Perusahaan istri Sigit, Elsye, menjadi produsen tunggal dalam pembuatan KTP. Di tahun 1996, cucu Suharto, Ari Sigit, merencanakan skema penjualan stiker pajak minuman bir dan alkohol sebesar $ 0,25 per-botol di Indonesia (bisnis ini akhirnya hancur karena para produsen menstop pengapalan bir ke Bali sebagai protes). Sembilan bulan sebelum Suharto turun, Ari berusaha untuk mengadakan proyek “sepatu nasional”, di mana semua anak Indonesia diharuskan untuk membeli sepatu sekolah dari perusahaan miliknya. “Pada akhirnya”, kata seorang pengacara Amerika yang telah 20 tahun bekerja di Indonesia, “satu hal yang paling transparan di Indonesia adalah korupsi”.

Ketika rejim Soeharto jatuh, anak-anaknya mempergunakan pengaruh yang mereka miliki untuk dapat melepaskan diri dari belitan hutang dan bisnis yang hancur. Pada bulan April 1994, Tommy beserta dua rekan bisnisnya dan Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) — organisasi petani yang dijalankan oleh pemerintah — meresmikan sepermarket Goro. Berdasarkan catatan Bank Bumi Daya, untuk kepentingan ini mereka memperoleh pinjaman sebesar $ 100 juta, dimana angsuran untuk pinjaman ini tidak pernah dibayar. Pada tanggal 4 Mei 1998, Tommy kemudian menjual dengan harga kontan seluruh saham atas supermarket ini kepada petani dan koperasinya seharga $ 112 juta, sehingga memindahkan seluruh beban hutang yang ada ke pundak petani dan PUSKUD. Menurut Ibnu Hartomo, adik lelaki ibu Tien, anak-anak Suharto itu sangat liar dan tampaknya sudah tidak lagi mengingat arti etika. Pada saat kerusuhan Mei, satu minggu sebelum Suharto mengundurkan diri, massa yang marah membakar habis salah satu toko Goro yang ada di Jakarta Selatan.

Walaupun banyak dari kekayaan Suharto hilang karena manajemen yang buruk dan juga karena ekonomi negara yang hancur - misalnya PT. Sempati Air milik Tommy bangkrut pada tahun 1998- keluarga ini masih tetap memiliki banyak usaha yang masih memberikan keuntungan. Satu dari banyak contoh adalah PT. Panutan Selaras milik Sigit yang memproduksi 25% dari bensin Premix High Octane yang banyak digunakan oleh mobil-mobil di Indonesia dan juga ia memiliki 22 tempat pengisian bensin di Jakarta, Surabaya dan Jawa Tengah. Sedangkan PT. Humpuss Trading milik Tommy juga memproduksi bensin High End.

Bisnis yang lain lagi adalah bisnis Real Estate. Saat harga-harga property berjatuhan, kekayaan property keluarga ini diperkirakan sebesar $ 1 Milyar, dan banyak lagi termasuk perkebunan tebu, mal-mal, hotel-hotel yang sampai saat ini masih terus membawa keuntungan. Di pertengahan tahun 1980, Bambang membayar pemerintah $ 700 per m2 untuk sebidang tanah di Jakarta Pusat dimana saat ini berdiri Hotel Grand Hyaat, asset utama PT. Plaza Indonesia. Di Bali, anak-anak tersebut juga berhasil menyabet permata yang paling berharga dari industri pariwisata; seperti: Bali Cliff Hotel (Sigit), Sheraton Nusa Indah Resort (Bambang), Sheraton Laguna Nusa Dua (Bambang), Bali Intercontinental Resort (Masih milik Bambang sampai 2 bulan yang lalu), Nikko Royal Hotel (milik Sigit sampai 6 bulan lalu), Four Seasons Resort di Jimbaran (Tommy) dan Bali Golf dan Country Club di Nusa Dua (Tommy). Tutut dan Tommy juga membeli Mabes Polri Pusat di Jakarta dengan harga 1/5 dari harga pasar. Menteri kehutanan Muslimin Nasution mengatakan terdapat 4.5 juta hektar hutan dan perkebunan yang terkait dengan anak-anak Suharto. Pengamat ekonomi Michael Backman dari Melbourne, yang telah menulis tentang Suharto dalam bukunya “Asian Eclipse: Exploring the Dark Side of Business in Asia”, menyatakan, “Bila ada yang mengatakan bahwa kerajaan bisnis keluarga Suharto sudah hancur, maka dia salah. Mereka masih mempunyai saham-saham di perusahaan kayu, perkebunan kelapa sawit, dan hotel-hotel. Semuanya itu masih menghasilkan banyak dollar”.

RODA KEADILAN

Suharto tetap bertahan bahwa aset kekayaan yang dimilikinya tidaklah banyak dan semuanya berada di Indonesia. Pengacara top-nya Kaligis mengatakan bahwa Suharto tidak punya satu sen pun di luar negeri. “Jika seseorang ketahuan membuka account atas namanya di luar negeri, dia (Suharto) menginstruksikan saya untuk mengajukan tuntutan terhadap mereka”, kata Kaligis. Sejak Suharto mengundurkan diri, Bambang dan keluarganya lebih banyak menggunakan waktu mereka di Los Angeles, Titik di Boston dimana anak lelakinya bersekolah, dan sisanya hampir sepanjang tahun berada di Indonesia. Sedangkan Sigit mempergunakan sebagian besar waktunya di sofa Versace favoritnya (dimana tak seorangpun diijinkan mendudukinya), bermain video game, dan menonton rekaman wayang kulit.

Ghalib mengatakan bahwa Suharto telah memindahkan tujuh yayasan miliknya dengan aset seharga $ 690 juta ke tangan pemerintah. Beberapa staff Ghalib menyatakan bahwa walaupun begitu Suharto masih tetap mengontrol yayasan-yayasan tersebut, dan harga yayasan-yayasan tersebut sebenarnya jauh lebih mahal.

Reformasi yang masih berlangsung di sektor perbankan tampaknya juga menolong anggota keluarga Suharto dan associate-nya dalam menutupi kewajiban untuk membayar hutang-hutang mereka. Oktober tahun lalu, Pemerintah merencanakan untuk menyatukan 4 bank pemerintah - dengan total hutangnya (performing loan) sebesar $ 11,5 milyar. Ke enam anak Suharto dan beberapa perusahaan yang berafiliasi dengan mereka terdaftar di pemerintah sebagai pemilik hutang (bad debts) sebesar $ 800 juta di ke 4 bank tersebut.

Bila jumlahnya diperinci, diantara mereka, Bambang dan Tommy saja sudah memiliki hutang sebesar $ 635 juta hanya di satu dari empat bank tersebut, yaitu Bank Bumi Daya. Seorang staf perbankan malaporkan bahwa laporan-laporan mengenai account mereka sering dipalsukan, termasuk $ 172 juta yang dipinjamkan ke Hashim Djojohadikusuma, kakak ipar Titiek, untuk membeli saham di salah satu bank lain. Meminjam uang untuk membeli saham bank lain di Indonesia dianggap ilegal. Ketika hal ini ditanyakan, kantor Hashim menyatakan bahwa dia tidak dapat diwawancarai karena kesibukannya. Ketika TIME melaporkan hal ini kepada Habibie, presiden ini baru mulai meneliti hal tersebut.

Penelitian yang sungguh-sungguh atas harta rampasan Suharto mungkin harus menunggu pemerintah yang baru. Pemilihan wakil-wakil rakyat yang dijadwalkan tanggal 7 Juni, yang kemudian akan diikuti dengan pemilihan presiden bulan November, dapat merubah secara mendasar keseimbangan politik. Dua calon utama presiden; Amien Rais dan Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa mereka akan mengadili Suharto atau mungkin memberikan pengampunan bila sebelumnya harta tidak halal keluarga Suharto dikembalikan. Megawati Suukarnoputri, anak perempuan presiden Sukarno dan juga calon presiden, belum meyatakan pendapatnya dengan jelas. Beberapa analis berpikir bahwa dia akan melepaskan Suharto sebagai ucapan terimakasihnya untuk tidak memenjarakan bapaknya.

Walau bagaimanapun ada kemungkinan anak-anak tersebut akan diperlakukan lebih buruk. Seorang kenalan keluarga Suharto mengatakan bahwa selama Suharto masih hidup, dia masih mungkin untuk melindungi mereka. Tetapi setelah dia pergi, mereka harus melarikan diri. Tiga dari mereka memiliki rumah di Amerika, sehingga jaksa-jaksa penuntut disana dapat mengejar mereka dengan Undang-Undang yang baru yang lebih keras dalam hal korupsi dan pencucian uang. Sedangkan Bambang yang mengontrol 2 perusahaan Amerika, ternyata masih dapat diperiksa dengan peraturan praktek korupsi untuk orang asing (Foreign Corrupt Practices Act). Pengawas korupsi dari Masyarakat Transparasi Indonesia; bekas menteri keuangan Mar’ie Muhammad menyatakan bahwa 79 dari 528 keppres yang dikeluarkan sejak tahun 1993 - Mei 1998 adalah tidak sah. Tetapi Suharto cukup hati-hati. Keppres-keppres tersebut — yang umumnya dilakukan pada setiap akhir 5 tahun masa tugasnya, terlebih dahulu telah di setujui oleh anggota DPR yang sebenarnya tidak banyak berfungsi dan hanya bisa menyetujui apa saja yang diajukan presiden. Lagipula, menurut pengacara Suharto, Juan Felix tampubolon, di Indonesia terdapat aturan mengenai pembatasan dari tindakan semacam itu, “bagi setiap kejahatan yang dilakukan seseorang, bila ada, sebelum tahun 1981, maka hak untuk menghukum yang bersangkutan telah habis masa berlakunya sesuai dengan aturan”. Bagi Suharto, maka jumlah $ 9 milyar di sebuah Bank Austria - akan mencukupi baginya untuk hidup enak di masa pensiunnya.

disadur dari http://soehartoincbuster.org/

Sepuluh Besar Pemimpin Politik Terkorup di Dunia

Sangat ironis sekali jika pemimpin negara di beberapa negara mengkorupsi uang negaranya sendiri. Bukan hanya akan menyengsarakan rakyat tapi juga menambah hutang negara. Berikut ini adalah salah satu data yang saya temukan di soehartoincbuster.org.

Sepuluh Besar Pemimpin Politik Terkorup di Dunia:

  1. Soeharto (Indonesia) : US$15-35 miliar

  2. Ferdinand E. Marcos (Filipina) : US$5-10 miliar

  3. Mobutu Sese Seko (Kongo): US$5 miliar

  4.  Sani Abacha (Nigeria)

  5. Slobodan Milosevic (Serbia)

  6. Jean-Claude Duvalier (Haiti)

  7. Alberto Fujimori (Peru)

  8. Pavlo Lazarenko (Ukraina)

  9. Arnoldo Aleman (Nikaragua)

  10. Josep Estrada (Filipina)


Sumber: Transparency International, 2004




Jul 28, 2007

Terlalu Banyak Tidur Beresiko Kematian

Terlalu banyak tidur atau tidur lebih dari delapan jam sehari tak hanya akan membuat Anda dicap sebagai pemalas tapi juga bisa membuat Anda meninggal dengan cepat. Wah...!

Penelitian yang dilakukan oleh Institusi American Cancer Society ini melibatkan 1000 orang relawan dari beberapa negara bagian di Amerika, dan berhasil mengungkapkan bahwa orang yang tidur delapan jam sehari ternyata berisiko 12% meninggal lebih cepat. Risiko ini meningkat menjadi 17% pada orang-orang yang tidur sembilan jam sehari. Risiko kematian yang paling besar terjadi pada seseorang yang tidurnya mencapai sepuluh jam sehari, yaitu mencapai 34%.

Mengapa tidur lebih dari delapan jam sehari tidak dianjurkan? Profesor Daniel F. Kripke, salah seorang peneliti mengatakan bahwa terlalu banyak tidur sama seperti terlalu banyak makan. Tubuh tidak memerlukan lebih dari yang ia butuhkan, terlalu banyak tidur hanya akan membuat organ tubuh melemah. "Sebaiknya setiap orang mempunyai kebiasaan tidur 6,5 jam sehari, tapi harus tidur yang berkualitas. "Tak ada alasan untuk menambah jam tidur, tubuh akan memberitahu kita berapa banyak jam yang ia butuhkan untuk beristirahat, " ujar Prof. Daniel.

Jadi, merujuk pada penelitian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidur tujuh jam sehari adalah yang terbaik. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tubuh paling merasa nyaman jika hanya tidur selama tujuh jam. Tak masalah juga jika tidur kurang dari tujuh jam sehari. Misalkan, enam atau lima jam sehari.
"Tapi ingat, tidak baik bagi kesehatan apabila Anda terus menerus tidur kurang dari lima jam sehari dalam waktu yang cukup lama," ujar Prof. Daniel mengingatkan.

"Kalau selama ini Anda tidur lebih dari yang dibutuhkan oleh tubuh, maka mulai sekarang hilangkan kebiasaan tersebut. Tidurlah yang berkualitas dan yakinlah bahwa tidur selama tujuh jam sehari telah mencukupi dan membawa dampak yang positif bagi kesehatan Anda," ujarnya.

Batik Karya Cipta Malaysia Unjuk Gigi ke Luar Angkasa ?

Sepanjang awal Maret heboh ketegangan perbatasan di kawasan kaya minyak Ambalat di selat Sulawesi yang diklaim sepihak oleh Malaysia menyita fokus berita di Indonesia. Agaknya Indonesia tidak akan hanya cukup gusar semata serta kecewa atas klaim pihak Malaysia yang ternyata tidak hanya sebatas klaim wilayah di perairan laut namun bahkan sampai pula ke luar angkasa. Apabila menyimak portal berita Internet spacedaily akhir Maret y.l dengan apa yg dinamakan program "Batik in Space" Badan Antariksa Nasional Malaysia berencana meluncurkan antariksawan awak berkebangsaan Malaysia ke angkasa luar juga dengan membawa serta batik sebagai suatu tanda mata karya cipta Malaysia.


Atas kesepahaman bersama antara Malaysia dengan Rusia tahun 2003, dalam misi penerbangan Soyuz ke stasiun luar angkasa International Space Station Oktober tahun 2007 y.a.d pihak Rusia akan menyertakan kosmonout Malaysia untuk ikut bertugas melaksanakan penelitian ilmiah di luar angkasa. Program imbalan pemerintah Rusia atas proyek pembelian skuadron pesawat tempur Sukhoi 30 MKM.


Bangsa Indonesia patut merasakan kecolongan atas upaya sepihak Malaysia mengklaim paten batik sebagai salah satu karya cipta kebanggaan anak bangsanya. Walaupun kebanyakan masyarakat Internasional mengetahui bahwa batik sesunguhnya merupakan salah satu ragam kekayaan hak cipta tradisional milik bangsa Indonesia, khususnya Jawa. Tidak kurang dari tokoh kenamaan seperti Nelson Mandela -penerima Nobel Perdamaian 1993 dari Afsel- yg ketika berkunjung ke tanah air dan dihadiahi seperangkat kemeja batik halus Indonesia mengakui nilai artistik seni batik disamping nyaman saat dipakai. Tidak heran apabila dalam berbagai kesempatan sesudahnya cukup sering terlihat Mandela memakai kemeja batik dala berbagai acara formal.



Adalah kenyataannya bahwa negara tetangga Malaysia saat sekarang tengah berjaya -khususnya di bidang ekonomi dibanding Indonesia yg masih tetap terpuruk jatuh sejak krisis ekonomi Asia- berusaha sekuat tenaga mengedepankan kepentingan nasionalnya dengan segala cara adalah sesuatu yg dapat dimengerti. Kondisi keterpurukan ekonomi jualah yang menyebabkan Indonesia yang sesungguhnya sempat berencana akan meluncurkan calon antariksawati Dr. Pratiwi Soedharmono -yg sempat menyelesaikan program Training Payload Spesialist NASA tahun 1986 untuk ikut serta dalam rencana program peluncuran misi ulang alik Columbia awal tahun 1990-an- kenyataannya gagal terwujud.




Sumber: IPTEKnet / Rizal

Jul 26, 2007

Hasil Unas 2007 Siswa SMA Surabaya

Target Terpenuhi, Gagal Tiga Besar
SURABAYA - Hasil ujian nasional (unas) jenjang SMA di Surabaya dinilai mengecewakan. Pasalnya, berdasarkan peringkat yang disusun Dinas P dan K Jatim, Surabaya terlempar dari tiga besar. Baik untuk jurusan IPA, IPS, dan bahasa Indonesia.

Berdasarkan data yang diperoleh, untuk jurusan bahasa, Surabaya menempati peringkat ke-20 dengan total nilai rata-rata 22,84. Dari 366 siswa jurusan bahasa, yang gagal unas sebanyak 26 siswa. Untuk jurusan IPA, Surabaya menempati peringkat ke-10 dengan total nilai rata-rata 24,25. Jumlah yang tidak lulus 299 siswa dari 10.924 peserta unas. Sementara di bidang IPS, Surabaya bertengger di peringkat ke-9 dengan nilai rata-rata 22,59. Siswa yang tidak lulus 304 orang dari 9.670 peserta.

Dalam perolehan nilai individu, Surabaya hanya mampu meraih peringkat tiga untuk jurusan IPS. Predikat itu direbut Dian Trisumarto dari SMAN 13 dengan perolehan nilai rata-rata 28,65. Padahal, tahun lalu Surabaya mendominasi unas dalam perolehan nilai individu. Untuk jurusan IPA, siswa SMAN 5 merebut ranking pertama, sedangkan untuk IPS direbut siswa SMAN 16.

Untuk diketahui, jumlah peserta unas SMA di Surabaya tahun ini sebanyak 20.960 peserta. Dari jumlah itu, siswa yang tidak lulus 629 orang, termasuk 59 siswa yang tak mengikuti ujian. Artinya, persentase siswa SMA Surabaya yang tidak lulus hanya sekitar 2,5 persen. "Jadi, target unas Surabaya tahun ini terpenuhi. Bahkan, kelulusannya melebihi target," ucap Kadiknas Surabaya Sahudi. Tahun ini Diknas Surabaya menargetkan kelulusan siswa SMA hingga 95 persen.

Sahudi menjelaskan, unas bukan satu-satunya target yang dikejar Diknas. Pasalnya, kelulusan siswa tak hanya ditentukan oleh unas. Dengan begitu, Surabaya tidak menargetkan menembus 10 besar kabupaten/kota tertinggi nilai unas. "Ingat target kami hanya 95 persen kelulusan unas dan itu telah terpenuhi tahun ini. Bukan masuk 10 besar kota tertinggi nilai rata-rata unas,"’ tegasnya.

Sahudi mengungkapkan, target Surabaya untuk jenjang SMA tak hanya melulu di unas. Tapi, lebih fokus untuk menyiapkan siswa menghadapi seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB). Sebab, bila konsentrasi siswa hanya di unas, akan memengaruhi persiapan mereka menghadapi SPMB. "Jangan hanya melulu lihat nilai unas. Karena Surabaya menempati peringkat teratas untuk siswa yang paling banyak diterima di perguruan tinggi," kilahnya.

Sementara itu, Wakasek Kesiswaan SMAN 5 Surabaya Drs Sudirman mengiyakan Sahudi. Menurut dia, menurunnya peringkat Surabaya harus diamati dari berbagai faktor. Di Smala -sebutan SMAN 5– misalnya, kecenderungan para siswa lebih fokus menghadapi SPMB daripada unas. "Dua-duanya memang menjadi prioritas. Namun, mereka juga serius dalam mempersiapkan diri untuk SPMB," paparnya.

Itulah yang menjadi alasan mengapa tahun ini Smala tidak satu pun merebut peringkat pertama dalam semua jurusan. Padahal, tahun lalu, untuk jurusan IPA, Smala berhasil meraih peringkat pertama.

Ketua II Dewan Pendidikan Surabaya Isa Ansori, hasil unas Surabaya tahun ini dinilai jauh dari tahun lalu. Menurut Isa, bila sekadar memenuhi target 95 persen kelulusan bukan merupakan indikasi adanya peningkatan mutu pendidikan di Surabaya.

Seharusnya, kata Isa, bila tahun lalu Surabaya meraih target kelulusan 94 persen, tingkat kelulusan tahun ini signifikan mutlak harus dicapai. "Lantas, apa gunanya dengan peningkatan anggaran 8,1 persen menjadi 12,1 persen bila mutu pendidikan tidak naik secara signifikan. Perolehan angka ini harus bisa dipertanggungjawabkan di hadapan DPRD nanti," paparnya.

Dengan hasil itu, kata Isa, ada beberapa indikasi mengapa hasil unas tidak menggembirakan. Pertama, proses pembelajaran di Surabaya tidak optimal. Kedua, sarana dan prasarana pendidikan belum memenuhi standar pelayanan pendidikan. "Ini menjadi PR bagi Diknas," tukasnya. (kit)

disadur dari indopos
 

Recent Comments

Shout Box


Free shoutbox @ ShoutMix

Follow My Blog

.:jembelisme media:. Copyright © 2009 Community is Designed by Free Blogger Template