Oleh Wimar Witoelar
Anak-anak saya dulu senang sekali lihat film ‘The Never Ending Story’. Jalan ceritera film itu tidak banyak sangkut pautnya dengan tulisan ini, tapi judulnya senada. Soeharto, koruptor kelas dunia, kok bisa lolos terus dari jangkauan hukum sejak mundur terpaksa. Mundurnya terjadi mendadak, tapi pertanggung jawaban kejahatannya terhalang oleh seribu alasan.
Hambatan terakhir menyangkut hilangnya berkas perkara tapi hambatan sesungguhnya bukanlah kendala teknis semacam itu. Berkas hilang bukan penyebab tapi akibat dari keengganan untuk menghukum Soeharto. Contohnya, keterangan Muladi bahwa kasus Soeharto sudah selesai. Menurut berita Tempo Interaktif 23 Mei 2007, Muladi minta semua pihak tidak menghabiskan energi untuk mengurusi atau memperdebatkan masalah-masalah di masa lalu seperti pengadilan bagi mantan presiden Soeharto. Muladi melihat bangsa Indonesia kurang fokus terhadap masa kini dan masa depan padahal masalah yang akan dihadapi ke depan sangat banyak. Kalaupun ada hal-hal di masa lalu yang perlu ditindaklanjuti, lanjutnya, haruslah masalah-masalah yang besar dan strategis saja sementara masalah yang kecil tidak perlu dipersoalkan lagi.
Loh kok masalah yang kecil? Bukankah jumlah uang yang diambil Soeharto itu besar sekali, sampai tidak terbayangkan? Apalagi kejahatan yang merampas nyawa manusia, pelanggaran HAM yang kita takut menyebutnya sampai sekarang, karena para pelaksananya masih berkeliaran bebas. Memang, Pak Muladi yang sekarang Gubernur Lemhanas, tapi jaman Soeharto adalah Menteri Hukum dan HAM, jadi sudah jelas kedudukannya dimana. Sama dengan menanyakan Donald Rumsfeld apakah serangan atas Irak itu benar atau salah. Kalau Muladi menyalahkan Soeharto, ia akan menguap seperti Harmoko.
Kita ambil kutipan orang yang seharusnya lebih kredibel, Jusuf Kalla. Wakil Presiden dalam pemerintahan yang lahir dari reformasi melawan Soeharto. Seharusnya Jusuf Kalla menghargai sejarah singkat yang membuat seorang pedagang macam dia bisa menduduki jabatan nomor dua di negara Indonesia. Dia mengatakan, pemimpin yang melihat masa lalu, kata dia, tujuannya bukan masa depan tapi kejayaan di masa lalu. “Jangan kita menyalahkan masa lalu tapi mari bergerak dalam kondisi kekinian,” ujar Kalla. So far so good. Bagus, Pak. Tapi dia teruskan, menurut posting Tempo Interaktif yang sama, bahwa perdebatan hal-hal yang kurang penting harus dikurangi. Kalla mengatakan, berdebat boleh saja dilakukan tapi tidak boleh sampai menghabiskan waktu dan menghalangi upaya penyelesaian permasalahan bangsa. Halo Pak? Apakah pengusutan Soeharto ‘menghabiskan waktu dan menghalangi upaya penyelesaian permasalahan bangsa?’
Bukankah justru permasalahan bangsa adalah menegakkan keadilan? Sungguh fantastis, rasionalisasi berbagai orang untuk tidak mengusut kejahatan Soeharto. Kelihatan sekali bahwa ketidak lengkapan berkas, atau hilangnya berkas, hanya merupakan alasan teknis menghindari tanggung jawab. Ingat Jeffrey Winters kan, ahli politik ekonomi Indonesia yang sangat cerdas dari Northwestern University. Katanya, sejarah lebih menguntungkan diktator yang mencuri Miliaran Dollar, bukan Jutaan.
Kata Winters, sejarah membuktikan bahwa pemimpin yang melakukan pelanggaran, lebih aman kalau dia melanggar pada skala yang demikian besarnya sehingga tidak banyak orang percaya bahwa itu mungkin. Orang yang hanya mencuri remeh-remeh ditangkap KPK. Tapi kalau yang dicuri itu Miliaran Dollar, berarti puluhan Trliun Rupiah, tidak bisa dibayangkan orang bisa mencuri sebanyak itu. Apalagi kalau orangnya bersikap sederhana dan senyum terus, sakit dan tua. Kasihan, ingatlah jasanya katanya. Orang tidak melihat bahwa pengacaranya kaya raya, anaknya melempar uang puluhan juta dollar kesana kami dan tinggal di rumah bernilai puluhan juta dollar perumahan termahal California. Uang sisanya masih dipakai untuk dana politik Pilkada dan Pilpres.
Dibantu oleh bankir dan funds manager top di dunia dan perangkat hukum yang tahan banting, makin susah lagi menangkap Soeharto. Atau dibalik, makin mudah lagi menghindari penangkapan Soeharto. Sekalinya seorang Jaksa Agung seperti Abdulrahman Saleh mulai mempersiapkan perkara Soeharto dengan serius, dia kena reshuffle. Kebetulan atau sengaja? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.
[Apakah Hendarman Supanji akan berhasil mengambilalih harta jarahan Soeharto? Sekali lagi tanyakan juga pada rumput yang bergoyang, red]
Tulisan ini adalah versi asli kolom opini yang terbit di Majalah Tempo edisi 11-17 Juni 2007